6  UAS-2 My Opinions

Opini tentang Arah Keberlanjutan di Era AI: Mendesak, Tegas, dan Tidak Lagi Naif

Dalam pandangan saya, kita sedang memasuki fase yang berbahaya: keberlanjutan kehilangan momentum justru pada saat dunia paling membutuhkannya. Penyebab utamanya adalah gelombang adopsi AI yang dikemas sebagai “solusi masa depan”, padahal dalam praktiknya lebih sering mengalihkan perhatian, menelan anggaran, dan memperkuat model ekonomi yang bertentangan dengan batas-batas ekologis.

Jika tren ini dibiarkan, AI bukan sekadar alat—ia berubah menjadi hambatan struktural yang memperlambat aksi iklim. Karena itu, sikap saya jelas: narasi AI untuk keberlanjutan harus dipertanyakan, direm, dan diarahkan ulang. Optimisme teknologi tidak boleh menjadi alasan untuk menunda keputusan sulit terkait konsumsi, energi, dan pertumbuhan.

6.1 I. Sikap Utama: AI Harus Diperlakukan sebagai Risiko, Bukan Penyelamat Otomatis

Banyak negara dan perusahaan memperlakukan AI sebagai “jalur cepat” menuju masa depan hijau. Menurut saya, pendekatan ini keliru. AI saat ini didorong oleh logika profit dan kecepatan—dua faktor yang hampir selalu bertentangan dengan keberlanjutan. Karena itu, sikap terbaik adalah memperlakukan AI sebagai risiko sistemik yang perlu regulasi ketat sebelum dipromosikan sebagai solusi iklim.

Pendekatan “AI akan menyelesaikan semuanya” menciptakan rasa aman palsu. Padahal, efisiensi yang dibawa AI sering menimbulkan rebound effect: sistem lama berjalan lebih cepat tanpa mengubah struktur fundamentalnya. Keberlanjutan membutuhkan penurunan konsumsi, bukan optimalisasi konsumsi.

6.2 II. Keputusan Strategis: Menghentikan “AI-Washing” dalam Kebijakan dan Korporasi

Saya berpendapat bahwa kita perlu menghentikan apa yang secara praktis sudah menjadi AI-washing—yaitu penggunaan AI sebagai pembenaran untuk menunda reformasi struktural. Perusahaan harus diwajibkan membuktikan bahwa implementasi AI benar-benar menurunkan emisi bersih, bukan sekadar meningkatkan margin atau efisiensi produksi.

Kebijakan publik pun perlu mengadopsi prinsip “no net harm”: tidak ada proyek AI yang boleh berjalan jika outputnya memperbesar jejak karbon, memperkuat industri ekstraktif, atau menunda transisi energi. Pada titik ini, keputusan tegas lebih penting daripada inovasi cepat.

6.3 III. Langkah Praktis: Mengubah Lingkungan Tempat AI Tumbuh

Menurut saya, solusi yang paling masuk akal bukanlah “memperbaiki AI”, tetapi mengubah lingkungan yang membentuknya. Empat langkah berikut perlu dilakukan secara paralel:

  • Regulasi Energi untuk AI: Setiap model besar harus dinilai oleh standar energi dan emisi, bukan hanya kinerja teknis.
  • Insentif untuk teknologi rendah konsumsi: Beri keuntungan bagi sistem AI kecil/efisien yang tidak membutuhkan megapusat data.
  • Perubahan norma publik: Kampanye yang mengoreksi asumsi bahwa “AI pasti baik untuk planet”.
  • Transparansi alokasi anggaran: Perusahaan harus melaporkan berapa anggaran AI yang menggantikan anggaran ESG/keberlanjutan.

Langkah-langkah ini mungkin terasa tidak populer, tetapi transisi ekologis memang membutuhkan keberanian moral, bukan hanya kecerdasan teknis.

6.4 IV. Kesimpulan: Fokus pada Keberlanjutan, Bukan Fantasi Teknologi

Singkatnya, opini saya tegas: AI tidak boleh diberi posisi sebagai pusat strategi keberlanjutan. Teknologi ini dapat membantu dalam batas tertentu, tetapi ia tidak menggantikan tanggung jawab manusia untuk mengurangi konsumsi, mengubah pola produksi, dan merancang ulang sistem ekonomi.

Keberlanjutan tidak pernah gagal karena kurangnya inovasi—ia gagal karena kurangnya keberanian untuk berubah. AI seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda perubahan itu; ia harus ditempatkan kembali sebagai alat bantu yang dikendalikan oleh batas ekologis, bukan sebagai mitos penyelamat yang memperpanjang krisis.